Langsung ke konten utama

Postingan

Orangtua Tahu Segalanya, Anak Muda Bodoh dan Tak Tahu Apa-Apa

 Ini adalah sebuah cerita yang terus terngiang dan meminta untuk dituliskan. Sebuah keluarga ibarat sedang mengendarai mobil, orangtua duduk di depan, ayah menyetir dan ibu duduk di sampingnya. Ketika di perjalanan menemui jalan yang salah atau bahkan buntu, ayah akan mengarahkan mobil ke jalan yg benar, jika masih saja tersesat, ayah akan menyarankan ibu atau malah ibu yg berinisiatif membuka peta untuk menunjukkan jalan kepada ayah. Tentunya sebelum itu seharusnya berunding satu sama lain. Bukan malah berteriak satu sama lain untuk melihat peta dan jalan mana yg paling benar. Dua orang anak yg duduk di kursi belakang akan merasa tenang ketika orangtuanya mampu kembali ke jalan yg benar tanpa keributan. Namun, dua anak tersebut akan kebingungan dan lelah selama perjalanan ketika orangtuanya berteriak satu sama lain dan tidak menghiraukan anaknya yang takut. Bahkan, ketika salah satu anak memberi saran yang bisa jadi membantu karena dia sudah berpengalaman, ibu berteriak dia sok pintar
Postingan terbaru

Pangeran Mimpi

          Aku pergi ke sekolah lain untuk menunggu pengumuman hasil lomba, disana ada sekumpulan siswa dan aku menebak mereka panitia. Di sekolah ini aku mengenal seorang sahabat dan dia memang menemaniku selama disini. Selama menunggu hasil, pandangan siswa lain terlihat menerka karena aku memakai seragam yang berbeda. Sahabatku berkata untuk mengabaikan mereka saja. Ya aku memang tidak begitu peduli dengan pandangan siswa di sekolah ini tapi semakin lama aku merasa risih. Akhirnya, aku memutuskan melihat pameran yang ada di aula, disanalah juga terpampang nyata karyaku yang sedang aku lombakan. Ketika melihat ke satu karya, disebelahku berdiri seorang siswa laki-laki bertubuh tinggi ideal dengan potongan rambut A1 memakai seragam OSIS. Sejurus kemudian, seorang siswa perempuan menyusulnya. Aku tidak terlalu peduli dengan kehadiran mereka. Namun, saat aku berbalik arah, laki-laki itu menatapku, kami bertemu mata sebentar dan aku hanya mengangguk lalu pergi. Aku berjalan pergi dan mend

Ironis Sendiri

Menaruh rasa dengan seseorang yang katanya setia, nyatanya tak terbukti. Menaruh rasa dengan sahabat, nyatanya sakit sendiri. Menaruh rasa dengan seorang pengumpat, nyatanya miris sekali. Menaruh rasa dengan seorang penyair, nyatanya di pandang tak ada arti. Ironis dan miris. Berkali-kali jatuh cinta sendiri. Berkali-kali menyukai sendiri. Hanya satu arah dan tak ada balasan baik yang kembali. Semenyedihkan itu rasa yang dipunya. Memang lebih baiknya, disimpan untuk diri sendiri saja.

Kepada: Tuan

Tuan, maafkan saya tak bisa membendung rasa. Tuan, maafkan saya tak bisa menengadahkan muka. Tuan, maafkan saya tak punya nyali untuk menyapa. Saya tahu, saya hanya debu. Yang tak akan pernah Tuan sadari. Saya tahu, saya hanya angin lalu. Yang tak akan pernah Tuan ingini. Tuan, saya tak bermakna,  Sangat tidak bagi Tuan. Saya hanya punya nama, namun Tuan tak bisa mengingatnya. Tuan, saya tak terlihat. Sangat tidak bagi Tuan. Saya hanya punya muka, namun Tuan tak mau melihatnya. Tuan, saya tak dicinta. Sangat mustahil bagi Tuan. Sebab saya punya rasa, namun Tuan hiraukan. Bahkan tak akan terjadi sebuah ikatan. Kepada Tuan, Sepenuh hati yang saya berikan, Tak akan ada arti yang Tuan balaskan.

Berempati

  Well, kebahagiaan orang lain bukan sepenuhnya tanggung jawab kita. Tapi, mengapa kita selalu merasa ikut bersalah, sedih, kecewa kalau teman atau sahabat kita juga demikian? Itu namanya empati. Empati bisa diartikan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk memposisikan diri dalam keadaan yang dirasakan orang lain dan menghayati pengalaman tersebut untuk melihat situasi dari sudut pandang orang lain (Fitriyatun, Nopita, dan Muliyani, 2018). Empati bukan berarti kita enggak sadar posisi kita sebagai individu yang punya tanggung jawab atas diri kita sendiri. Tapi, kita hanya ikut merasa atau memposisikan kita untuk berada dalam keadaan yang kita dengar. Ya memang enggak mudah untuk merasakan demikian ya, karena setiap orang tentunya punya perasaan masing-masing dan bertanggung jawab atas perasaan itu. Sejauh ini yang dirasakan ketika berempati dengan orang lain tetap harus melihat keadaan diri sendiri. Buat komitmen dengan diri sendiri terlebih dahulu agar bisa menerima perasaan dari ora

Usia 20-an

Muak karena menyusun latar belakang yang tidak kunjung usai, sepertinya menulis sedikit di laman ini akan menjadi hal yang menyenangkan, wkwkwk. Maksudnya, menyenangkan untuk curhat. Aku anak pertama dari tiga bersaudara, semua perempuan. Bapak kerja di luar kota dan di rumah aku bersama mama dan adikku yang kedua. Lagi-lagi ceritanya klise ya, hehehe. Ya dilanjut aja ya. Nah, karena WFH ini membuatku semakin stres dibanding ketika hal apapun bisa dilakukan secara tatap muka. Ya karena aku melabeli diriku seorang ekstrovert jadi merasa bosan dengan kegiatan di sekitar rumah. Permasalahannya, ketika WFH secara otomatis kegiatan akan berlangsung di rumah dan pastinya akan terus bertemu anggota keluarga. Sebenarnya hal itu menyenangkan tapi juga menyebalkan. Intensitas berkomunikasi dan konflik sering banget terjadi, apalagi karena hal sepele. Well,  karena sudah berada di semester 7 alias semester agak tua, hal-hal kedepan terlihat abstrak, skripsi, sidang, wisuda, karir, akademik sura

Kedamaian

Sejauh ini menyadari kadang manusia hanya kesepian, atau sebenarnya memang butuh cinta. Tapi, yang dirasakan keduanya. Saat seseorang tertawa begitu lantang ternyata banyak yang disembunyikan ya, wkwkwk. Dan memang sesama manusia tidak akan selalu paham satu dengan yang lain, yang paling bisa memahami hanya diri sendiri. Tapi kadang pertanyaan muncul, "Siapa aku?". Mirisnya, seseorang selalu tidak memahami dirinya sendiri. Ya memang butuh manusia lain yang bisa membantu mengenali diri sendiri, tapi sejujurnya aku memahami bahwa aku tidak bisa selalu bergantung dengan orang lain. Aku selalu berpikir, jangan memperlihatkan sisi lemah di depan orang lain. Selalu saja membuat "pertahanan diri" yang sebenarnya hanya membuat lelah. Menjadi profesional bukanlah hal yang mudah, 60% dari diriku sangat profesional sisanya? Terdengar lebih seperti kepura-puraan yang terkemas rapi. Hal terkacau yang pernah aku tunjukkan hanya menangis ketika lelah di depan beberapa orang dan ha